Desa Sawarna
Keindahan Desa Sawarna, desa di pantai selatan Kabupaten Lebak, Banten,
sejak lama menjadi buah bibir. Namun, hingga kini, keindahan Sawarna
yang memiliki pantai berpasir serta hutan suaka alam dan goa-goa karst
seakan sia-sia.
Salah satu persoalan utama yang menyebabkan Sawarna tetap “tenggelam”
adalah buruknya sarana jalan menuju desa itu, yang berjarak 137
kilometer dari Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Akibat buruknya
kondisi jalan, waktu tempuh dari Rangkasbitung ke Desa Sawarna hampir
lima jam dengan menggunakan jip gardan dobel.
Kompas, yang melakukan perjalanan Sabtu (6/10) dari Rangkasbitung,
mengambil jalan menuju kota Kecamatan Malingping. Namun, saat ini jalan
rusak parah antara Cileles-Malingping sepanjang 27 kilometer, membuat
laju kendaraan tersendat.
Namun, selepas Malingping, jalan beraspal dan mulus hingga kota
Kecamatan Bayah. Di sini pemandangan indah pantai selatan Bayah dengan
persawahan membuat pikiran pun sejuk. Deburan ombak pantai selatan
membuat hati tenang.
Dari Bayah, ambil jalan menuju Desa Wisata Sawarna. Dari sini, kondisi
jalan berbatu-batu dengan turunan tajam sampai 60 derajat, membuat Anda
kembali menikmati suasana off road. Namun, dari puncak bukit di kawasan
hutan yang dilintasi, terlihat jelas keindahan Pantai Ciantir, pantai
berpasir dengan garis pantai sepanjang 3,5 kilometer. Tak jauh dari
pantai terlihat pula gerombolan kerbau di sawah nan hijau. Sungguh indah
suasana alami desa ini.
Jalan berbatu yang menurun dengan kemiringan 60 derajat hanya dapat
dilintasi jip bergardan dobel. Sulit bagi kendaraan seperti sedan untuk
melintasi kawasan desa wisata itu.
Setelah melintasi jalan berbatu-batu dengan medan yang sulit, akhirnya
kami tiba di homestay milik Husada Ata (62), mantan Kepala Desa Sawarna
(1977-1999). Meski ada lebih dari 30 homestay di Desa Sawarna, tamu-tamu
dari mancanegara lebih sering menginap di rumah Husada.
Menginap di homestay di desa ini tarifnya antara Rp 50.000 per orang per
hari (tanpa makan) dan Rp 100.000 per orang per hari (dengan makan tiga
kali). Tidak sedikit pula yang memilih memasang tenda dan kamping di
tepi Pantai Ciantir.
Untuk menuju Pantai Ciantir, kami harus melintasi jembatan gantung dari
seberang rumah Husada, menyeberangi Sungai Cisawarna, berjalan kaki
sejauh satu kilometer. Dalam perjalanan yang ditempuh selama 20 menit,
kami melewati sawah nan hijau di kiri kanan jalan setapak dan
rumah-rumah penduduk berdinding bambu. Ada beberapa homestay di dekat
pantai, tapi mobil tak bisa masuk karena belum ada jembatan menuju pantai.
*”Surga” pencinta “surfing”*
Sebaliknya, ombak besar menjadi “surga” bagi pencinta olahraga surfing.
Ombak pantai di Sawarna ini dianggap salah satu yang terbaik bagi
penggemar olahraga ini. Mike Neely (35) yang berasal dari Byron Bay,
Australia, tampak sedang berselancar di tengah gulungan ombak laut selatan.
“Pantai yang indah, ombak yang bagus,” kata Mike, yang menginap di
homestay Sawarna hanya untuk surfing selama tiga hari. Hal senada
diungkapkan Kannenori Miura (58), warga negara Jepang, penasihat Bupati
Lebak urusan pendidikan lingkungan dan ekowisata.
“Penggemar surfing dari mancanegara sengaja datang ke Sawarna. Potensi
wisata sangat besar, tapi sayang infrastruktur jalan masih kurang.
Toilet di homestay-homestay di sini tidak memenuhi standar
internasional. Makanan yang disajikan pun seharusnya hasil tangkapan
laut karena itu jauh lebih berkesan,” kata Miura.
Desa Sawarna ditetapkan sebagai desa wisata binaan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Banten sejak tahun 2000.
“Pejabat dinas kebudayaan dan pariwisata waktu itu membangun beberapa
saung dan lesehan di tepi Pantai Ciantir. Tapi untuk apa itu semua jika
sarana jalan menuju desa kami tetap dibiarkan rusak?” ungkap Pelaksana
Tugas Kepala Desa Sawarna Suhanda (37) kepada Kompas, Minggu (7/10).
Jalan di desa ini baru diaspal tahun 2001. Sebelumnya masih jalan
berbatu, itu pun hasil pekerjaan tentara, tiga kali program ABRI Masuk
Desa.
Listrik masuk desa berpenduduk 5.755 jiwa ini tahun 1998. Sebelumnya,
hingga tahun 1990 warga desa yang berbelanja atau berobat harus berjalan
kaki ke Bayah sejauh 12 kilometer minimal empat jam atau ke Cisolok
sejauh 39 kilometer selama 10 jam. Sawarna baru “terbuka” enam tahun
terakhir ini.
Memang hanya orang-orang yang gemar berpetualang yang mau menghabiskan
waktu berjam-jam menuju Desa Sawarna.
Orang-orang asing datang untuk berselancar di ombak pantai Sawarna,
seperti dari Australia, Selandia Baru, Swedia, Meksiko, Jepang,
Perancis, dan Inggris, seperti tercantum dalam buku tamu di homestay
Husada.
“Kalau semua infrastruktur sudah memadai, Sawarna bisa jadi ’Bali
kedua’. Bahkan Palabuhanratu pun bakal kalah pamornya,” kata Husada,
yang berharap desa yang dibangun kakek moyangnya itu segera bersinar.
sumber
sejak lama menjadi buah bibir. Namun, hingga kini, keindahan Sawarna
yang memiliki pantai berpasir serta hutan suaka alam dan goa-goa karst
seakan sia-sia.
Salah satu persoalan utama yang menyebabkan Sawarna tetap “tenggelam”
adalah buruknya sarana jalan menuju desa itu, yang berjarak 137
kilometer dari Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Akibat buruknya
kondisi jalan, waktu tempuh dari Rangkasbitung ke Desa Sawarna hampir
lima jam dengan menggunakan jip gardan dobel.
Kompas, yang melakukan perjalanan Sabtu (6/10) dari Rangkasbitung,
mengambil jalan menuju kota Kecamatan Malingping. Namun, saat ini jalan
rusak parah antara Cileles-Malingping sepanjang 27 kilometer, membuat
laju kendaraan tersendat.
Namun, selepas Malingping, jalan beraspal dan mulus hingga kota
Kecamatan Bayah. Di sini pemandangan indah pantai selatan Bayah dengan
persawahan membuat pikiran pun sejuk. Deburan ombak pantai selatan
membuat hati tenang.
Dari Bayah, ambil jalan menuju Desa Wisata Sawarna. Dari sini, kondisi
jalan berbatu-batu dengan turunan tajam sampai 60 derajat, membuat Anda
kembali menikmati suasana off road. Namun, dari puncak bukit di kawasan
hutan yang dilintasi, terlihat jelas keindahan Pantai Ciantir, pantai
berpasir dengan garis pantai sepanjang 3,5 kilometer. Tak jauh dari
pantai terlihat pula gerombolan kerbau di sawah nan hijau. Sungguh indah
suasana alami desa ini.
Jalan berbatu yang menurun dengan kemiringan 60 derajat hanya dapat
dilintasi jip bergardan dobel. Sulit bagi kendaraan seperti sedan untuk
melintasi kawasan desa wisata itu.
Setelah melintasi jalan berbatu-batu dengan medan yang sulit, akhirnya
kami tiba di homestay milik Husada Ata (62), mantan Kepala Desa Sawarna
(1977-1999). Meski ada lebih dari 30 homestay di Desa Sawarna, tamu-tamu
dari mancanegara lebih sering menginap di rumah Husada.
Menginap di homestay di desa ini tarifnya antara Rp 50.000 per orang per
hari (tanpa makan) dan Rp 100.000 per orang per hari (dengan makan tiga
kali). Tidak sedikit pula yang memilih memasang tenda dan kamping di
tepi Pantai Ciantir.
Untuk menuju Pantai Ciantir, kami harus melintasi jembatan gantung dari
seberang rumah Husada, menyeberangi Sungai Cisawarna, berjalan kaki
sejauh satu kilometer. Dalam perjalanan yang ditempuh selama 20 menit,
kami melewati sawah nan hijau di kiri kanan jalan setapak dan
rumah-rumah penduduk berdinding bambu. Ada beberapa homestay di dekat
pantai, tapi mobil tak bisa masuk karena belum ada jembatan menuju pantai.
*”Surga” pencinta “surfing”*
Sebaliknya, ombak besar menjadi “surga” bagi pencinta olahraga surfing.
Ombak pantai di Sawarna ini dianggap salah satu yang terbaik bagi
penggemar olahraga ini. Mike Neely (35) yang berasal dari Byron Bay,
Australia, tampak sedang berselancar di tengah gulungan ombak laut selatan.
“Pantai yang indah, ombak yang bagus,” kata Mike, yang menginap di
homestay Sawarna hanya untuk surfing selama tiga hari. Hal senada
diungkapkan Kannenori Miura (58), warga negara Jepang, penasihat Bupati
Lebak urusan pendidikan lingkungan dan ekowisata.
“Penggemar surfing dari mancanegara sengaja datang ke Sawarna. Potensi
wisata sangat besar, tapi sayang infrastruktur jalan masih kurang.
Toilet di homestay-homestay di sini tidak memenuhi standar
internasional. Makanan yang disajikan pun seharusnya hasil tangkapan
laut karena itu jauh lebih berkesan,” kata Miura.
Desa Sawarna ditetapkan sebagai desa wisata binaan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Banten sejak tahun 2000.
“Pejabat dinas kebudayaan dan pariwisata waktu itu membangun beberapa
saung dan lesehan di tepi Pantai Ciantir. Tapi untuk apa itu semua jika
sarana jalan menuju desa kami tetap dibiarkan rusak?” ungkap Pelaksana
Tugas Kepala Desa Sawarna Suhanda (37) kepada Kompas, Minggu (7/10).
Jalan di desa ini baru diaspal tahun 2001. Sebelumnya masih jalan
berbatu, itu pun hasil pekerjaan tentara, tiga kali program ABRI Masuk
Desa.
Listrik masuk desa berpenduduk 5.755 jiwa ini tahun 1998. Sebelumnya,
hingga tahun 1990 warga desa yang berbelanja atau berobat harus berjalan
kaki ke Bayah sejauh 12 kilometer minimal empat jam atau ke Cisolok
sejauh 39 kilometer selama 10 jam. Sawarna baru “terbuka” enam tahun
terakhir ini.
Memang hanya orang-orang yang gemar berpetualang yang mau menghabiskan
waktu berjam-jam menuju Desa Sawarna.
Orang-orang asing datang untuk berselancar di ombak pantai Sawarna,
seperti dari Australia, Selandia Baru, Swedia, Meksiko, Jepang,
Perancis, dan Inggris, seperti tercantum dalam buku tamu di homestay
Husada.
“Kalau semua infrastruktur sudah memadai, Sawarna bisa jadi ’Bali
kedua’. Bahkan Palabuhanratu pun bakal kalah pamornya,” kata Husada,
yang berharap desa yang dibangun kakek moyangnya itu segera bersinar.
sumber